OJK akan mewajibkan bank untuk memperhitungkan risiko iklim mulai tahun 2026
Desember 19, 2023 2023-12-19 3:05OJK akan mewajibkan bank untuk memperhitungkan risiko iklim mulai tahun 2026
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mewajibkan bank-bank untuk memperhitungkan ketidakpastian terkait iklim ke dalam keputusan pemberian kredit mereka, karena para ahli dan kelompok-kelompok internasional mengatakan bahwa sektor keuangan Indonesia mungkin belum cukup siap untuk menghadapi risiko yang terus meningkat.
Saat ini, OJK hanya mewajibkan bank-bank yang berada di bawah satuan tugas keuangan berkelanjutan untuk mengikuti program Climate Risk Stress Testing (CRST), yang akan berakhir pada tahun 2024, namun OJK berencana untuk mewajibkan semua bank untuk menjalani tes serupa pada tahun 2026.
Uji stres ini digunakan untuk menilai ketahanan masing-masing bank dan sektor perbankan secara keseluruhan terhadap risiko perubahan iklim, selain guncangan ekonomi pada umumnya.
Pengujian tersebut sejalan dengan seruan dari lembaga-lembaga internasional. Asia Investor Group on Climate Change (AIGCG), yang mewakili para investor dengan total aset sebesar US$32 triliun, menulis pada bulan Agustus tentang kekhawatiran bahwa risiko perubahan iklim dapat dianggap remeh oleh banyak bank di kawasan ini.
Anjali Viswamohanan, direktur kebijakan di AIGCC, juga mendesak lembaga-lembaga keuangan untuk “serius” dalam menganalisa dan mengukur risiko-risiko pinjaman mereka, terutama di industri-industri seperti perdagangan, manufaktur, dan real estat, yang menurutnya sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut.
Yuki M. A. Wardhana, seorang dosen di Universitas Indonesia (UI), mengatakan pada hari Jumat bahwa meskipun negara ini terpapar pada risiko perubahan iklim dan kerentanan terhadap bencana alam, belum banyak bank di Indonesia yang memperhitungkan ancaman-ancaman ini dengan baik.
“Tidak semua bank melakukan stress testing terhadap risiko iklim, dan tidak semua pekerja bank memiliki kemampuan uji tuntas yang ekstensif untuk menilai risiko-risiko yang ada,” ujar Yuki.
Yuki mengatakan bahwa risiko iklim dapat dibagi menjadi dua faktor: yaitu risiko transisi, yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan pemangku kepentingan seperti penghentian penggunaan batu bara, dan risiko fisik, yaitu bahaya bencana alam dan perubahan pola iklim.
Ia memperkirakan bahwa perbankan Indonesia menghadapi nilai eksposur risiko fisik terkait banjir sebesar Rp 526,64 triliun, menyusul puluhan ribu kejadian banjir yang dicatat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) dalam satu dekade terakhir.
Sementara itu, kejadian cuaca ekstrem diyakini dapat menyebabkan eksposur risiko sebesar Rp 1,9 kuadriliun bagi para pemberi pinjaman, sementara tanah longsor diproyeksikan dapat menyebabkan risiko sebesar Rp 180 triliun bagi para pemberi pinjaman.
Menilai risiko-risiko ini sangat penting, katanya, terutama pada kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pertanian, yang pembayarannya terkait erat dengan hasil panen.
“Ketika menilai sebuah hipotek, faktor [risiko lingkungan] perlu dipertimbangkan, karena terkait dengan risiko kredit dan risiko pasar,” kata Yuki.
“Perubahan iklim dan kenaikan suhu dapat mengurangi produktivitas mereka. Stress testing menyasar sektor-sektor penyebab perubahan iklim untuk mengurangi masalah lingkungan,” ujarnya.
Komite Basel untuk Pengawasan Perbankan (Basel Committee on Banking Supervision/ BCBS) juga menyerukan untuk melakukan stress testing terhadap iklim, katanya.
Uli Agustina, seorang analis eksekutif di OJK, mengatakan dalam sebuah diskusi pada hari Kamis bahwa bank-bank juga harus mempertimbangkan pelaporan emisi dan mitigasi perubahan iklim ketika membuat keputusan-keputusan pinjaman, yang menunjuk pada risiko-risiko transisi.
Namun, ia mengakui bahwa stress testing iklim telah terhalang oleh pengumpulan data emisi yang tidak memadai dan kurangnya metodologi standar untuk memperkirakan emisi dari para peminjam.
Jovitania Soediro, spesialis risiko iklim di pemberi pinjaman swasta CIMB Niaga, mengatakan bahwa mereka sedang mengkaji persyaratan pengujian stres terkait iklim dan mengembangkan proses untuk mengimplementasikannya.
“Untuk industri, saya hanya dapat mengatakan bahwa bank ini bergerak ke arah itu,” ujar Jovitania dalam diskusi hari Kamis.
Ia menambahkan bahwa bank berencana untuk meningkatkan komunikasi dengan para rekanannya untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai risiko-risiko yang terkait dengan perubahan iklim.
“Prioritas utama kami adalah memperoleh data untuk meningkatkan literasi iklim. Di tingkat peminjam, data ini dapat menjadi alat yang sangat penting dalam melakukan uji stres iklim, yang dapat memberikan wawasan yang berharga,” ujarnya.
Yuki dari UI menambahkan bahwa bank dan OJK harus bekerja sama untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk mendukung uji coba iklim, lembaga riset dan pemegang saham lainnya juga dapat terlibat.
Sumber:
This article was published in thejakartapost.com with the title “OJK to require banks to factor in climate risks starting in 2026BMKG issues extreme weather warning in Indonesia”. Click to read: https://www.thejakartapost.com/indonesia/2023/10/30/bmkg-issues-extreme-weather-warning-in-indonesia.html.